Jikalau Kado Telah Berbicara
Apabila tidak ingin
menangis, jangan pernah ada rindu yang mendalam.
Itulah kehidupan yang
takkan lepas dari awal dan akhir”
Liburan! Itulah suatu hal yang sangat dinantikan oleh semua
santri di Ponpes Tambakboyo dan bahkan seluruh pelajar. Liburan bagaikan
pencuci otak. Otak yang mulanya stress, jibek, membuat otak fresh
kembali. Liburan kali ini menurutku liburan yang paling menyenangkan. Bagaimana
tidak menyenangkan, selama kurang lebih tiga minggu tidak ada kitab atau buku
yang harus aku plototin.
Pada holiday kali ini, aku memilih liburan di rumah.
Namun ada juga santri lain yang memilih sowan kepada para kyai, main ke
rumah teman.
Kegiatan di rumah
banyak sekali. Bahkan jika sampai ditulis per agenda bisa sampai sebuku tulis.
Di antara beberapa jadwal kegiatanku yang paling berkesan adalah jalan-jalan di
alun-alun kota. Alun-alun kota ini bagiku istana awan yang memiliki alunan
melodi dan tergabung dalam harmonisasi yang amat menarik.
Pada malam itu, aku dan teman-temanku nongkrong di
pinggiran jalan. Di sana aku sangat menghayati suasana pada waktu itu.
Pemuda-pemudi berdatangan dengan membawa jagoan masing-masing, yaitu “motor”
yang memiliki suara, modifikasi yang beragam jenis. Hal inilah yang membuat
daya seniku memuncak.
Tak disangka, saat aku melihat jam ternyata telah
menunjukkan jam satu lebih. Padahal aku tadi izin dari rumah akan pulang jam
sebelas. Aku takut jika sampai ibu marah.
Pelan-pelan aku masuk ke rumah dengan tujuan agar tidak
diketahui keluargaku di rumah. “Pelan-pelan .... jangan sampai ada yang
bersuara”, kata dalam hatiku.
“Wooo ....”, teriakku. Ternyata ibuku sudah bersiap-siap di
depan pintu. Hatiku kaget bukan main. Baru kali ini aku menghayati bagaimana
rasanya orang bersalah.
“Le, ngluyur nang endi wae?” kata-kata ibu dengan
menunjukkan rasa marahnya padaku.
“Ndak kemana-mana kok Bu, cuma main-main bareng teman,” jelasku
pada Ibu
“Main ki yo main, nanging yo ndak sampai
tengah malam. Tadi izin sampai jam sebelas, nyatanya kok sampai jam segini,”
kata ibu.
Aku tambah bingung campur takut dan nggak tahu apa yang
harus aku lakukan. Semuanya bergelut di dalam perasaanku.
Setelah beberapa lama aku berdebat dengan ibuku, akhirnya
aku minta maaf untuk tidak mengulanginya.
* * * * *
Setelah beberapa lama aku liburan di rumah, aku mulai
merasakan betapa hangatnya hidup di tengah-tengah keluarga sendiri. Tanpa aku
sadari, hari terakhirku liburan di rumah telah usai.
Aku mulai menyiapkan apa saja yang harus aku bawa ke pondok
nanti. Mulai dari sabun mandi, sabun cuci, shampo, dan lain-lain, semuanya aku
siapkan dalam tas.
Betapa berat sekali hati ini meninggalkan rumah kesayangan.
Mungkin perasaan ini juga dirasakan oleh santri-santri lain, yang ingin kembali
ke pondok. Namun, rasa ini harus aku buang jauh-jauh. Karena apa yang aku
lakukan ini bukti rasa cintaku, rasa sayangku kepada Allah SWT untuk mencari
ridho dan ilmu yang suci dari-Nya.
“Ibu, saya minta izin mau kembali ke pondok,” izinku sambil
mencium tangannya.
“Iya, hati-hati di jalan. Cari ilmu yang sungguh-sungguh.”
Kemudian aku izin ke Bapakku, dan Bapak menjawab, “Jangan
lupa shalat jama’ah sungguh-sungguh dalam mencari ilmu.”
Selanjutnya aku izin ke nenek, kakek, dan tak lupa pada
teman-temanku. Dan yang tak aku lupa, sebelum berangkat aku wudhu. Saya mencari
ilmunya Allah yang berupa ilmu suci, maka sebelum saya berangkat menghadap yang
punya ilmu, saya harus suci secara lahir dan batin.
Menunggu datangnya
bus merupakan hal yang tidak ada manfaatnya. Setelah masuk ke bus, aku masih
kepikiran terus sama rumah. Sampai-sampai tasku diambil orang aku tidak dahu.
“Maling..... maling...!,” teriakku sekeras-kerasnya, sampai
seisi bus panik.
Aku tak menyangka ada teman sepondokku dalam satu bus.
Dialah yang akhirnya menolongku dari maling, namanya Dedi. Tak heran jika dia
menolongku, sebab dia pernah menjuarai lomba seni karate tingkat provinsi.
* * * * *
Beberapa jam aku dan Dedi di perjalanan, akhirnya sampailah
di pondok tercintaku. Aroma-aroma salaf yang kental, terdengar alunan bait-bait
Alfiyah yang menggema serasa mengisi celah-celah lubuk hati yang
terdalam. Pohon kelapa yang melambai-lambai seakan-akan telah menghipnotisku.
Langsung saja aku masuk ke kamar. Saya langsung menemui
sahabat-sahabatku, mereka adalah Wahid dan Fauzan. Mereka bagiku hadiah dari
Sang Tuhan, karena sebelum mondok aku pernah berdoa agar diberikan teman
yang baik dan memiliki pengertian kepadaku. Akhirnya, dijawab sudah sama Tuhan.
Betapa besar nikmat-Nya yang diberikan padaku.
Dimulailah permainan yang sesungguhnya di dalam pondok.
Mulai dari sekolah pagi, ngaji diniyah, sampai ngaji Pak Kyai pun aku jalani.
Dan ini sangat menguras tenagaku. Dengan adanya Wahid dan Fauzan membuat beban
pikiranku menjadi lebih ringan.
“Kang, lagi mikirin opo tho? Pacar ya”, tanya Falah
“Ha ha ha.... pacar?”
“Iya, pacar! Kok malah ditertawa?”
“Emangnya siapa yang mau denganku, pakaian ndeso, wajah pas-pasan.”
“Lho.... jangan pesimis gitu kang, tidak semua cewek melihat dari tampang
saja. Sampeyan punya hati yang sholeh. Insya Allah dapat pasangan yang cocok,”
terang Fauzan kepadaku.
“Amin...! Eh aku tadi gak mikirin pacar lho. Aku tadi mikirin gimana
jadinya kalau gajah ikut pemilihan Miss Universe.” Ejekku
“Ha ha ha .... Ngawur sampeyan niki.”
Hal yang paling aku sukai di pondok adalah saat lalaran
Alfiyah, karena semua bisa senang-senang sambil mukul-mukul apa saja yang
ada di sekitarnya untuk mengiringi bait-bait Alfiyah. Dan yang paling
aku benci adalah di saat setoran hafalan Alfiyah. Bagiku hafalan
sangatlah sulit untuk melekat di otakku. Kunci untuk bisa baca kitab kuning
adalah mempelajari ilmu nahwu dan shorof, salah satunya nadhom-nadhom
Alfiyah. Maka dari itu, mau nggak mau aku harus hafal Alfiyah.
Biasa yang dilakukan
para santri setiap malam adalah ngaji Pak Kyai. Tak lupa juga aku, Dedi, Wahid
dan Fauzan juga ikut ngaji. Pada kali ini yang dikaji adalah kitab tentang ilmu
tasawuf. Semua santri antusias mengikutinya. Setelah pengajian kitab selesai,
semua santri bubar dan kembali ke kamar. Namun, Pak Kyai tidak langsung ke ndalem-nya.
Beliau melanjutkan undangan kenduri di kampung sebelah.
“Hoooe, makanan....
makanan ....!” teriak Dedi kepada seseorang yang membawa makanan. Maklumlah,
pada waktu itu listrik kurang menyukupi buat penerangan. Betapa gelapnya pondok
pada waktu itu, membuat Dedi tidak dapat melihat dengan jelas orang itu. Dia
langsung saja menyahut makanan itu.
Pada malam
berikutnya, pengajian kitab kuning dilakukan seperti biasanya. Namun yang
berbeda pada kali ini Pak Kyai membicarakan topik tentang adab seseorang
tentang makanan. Pak Kyai bercerita panjang lebar tentang makanan. Pada salah
satu pembicaraan beliau, beliau mengatakan bahwa makanannya yang kemarin telah
dicuri sama santri. Dedi langsung kaget, ternyata yang diminta makanannya
kemarin adalah milik Pak Kyai. Dan perbuatan itu sangat memalukan bagi Dedi.
Selama 3 tahun
bagiku, tak terasa aku menuntut ilmu di pondok. Saat-saat ini mungkin waktu
yang sangat menyedihkan bagiku. Karena apa? Karena waktu ini waktu perpisahan
bagi para santri atau Akhirus Sanah. Aku berpamitan dengan pengasuh
pondok, para ustadz, sahabatku, dan teman-temanku yang lain. Tek henti-hentinya
aku meneteskan air mata.
Bagiku, hati ini
terasa berat berpisah dengan sahabat dan teman yang sudah aku anggap seperti
saudaraku sendiri. Mulai dari duka dan tawa aku lalui bersama. Sebelum aku
berpisah dengan sahabatku Wahid dan Fauzan, kami bertiga mengatakan dari dalam
hati yang terdalam bahwa “Kita tidak akan pernah berpisah. Semua cita-cita
kita, apapun yang kita lakukan, doa-doa kita, insya Allah diridhai dan
diberikan yang terbaik oleh Allah SWT” Amin.
Dan semua ini ibarat
kado yang diberikan kepada kekasaihnya. Betapa agungnya Dia, betapa besar rasa
cinta-Nya kepada makhluk-Nya. Aku pun tak kuat untuk menerima semua kado
pemberian dari Allah SWT.
by: faiezanakzstsetya@yahoo.co.id
faizainurrazi9c@gmail.com
Leave a Comment